Dalam
sejarah, yang dikenal sebagai pembuat mikroskop pertama kali adalah 2 ilmuwan
Jerman, yaitu Hans Janssen dan Zacharias Janssen (ayah-anak) pada tahun 1590.
Temuan mikroskop saat itu mendorong ilmuan lain, seperti Galileo Galilei
(Italia), untuk membuat alat yang sama. Galileo menyelesaikan pembuatan
mikroskop pada tahun 1609, dan mikroskop yang dibuatnya dikenal dengan nama
mikroskop Galileo. Mikroskop jenis ini menggunakan lensa optik, sehingga
disebut mikroskop optik. Mikroskop yang dirakit dari lensa optic memiliki
kemampuan terbatas dalam memperbesar ukuran obyek. Hal ini disebabkan oleh
limit difraksi cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombang cahaya. Secara
teoritis, panjang gelombang cahaya ini hanya sampai sekitar 200 nanometer.
Untuk itu, mikroskop berbasis lensa optik ini tidak bisa mengamati ukuran di
bawah 200 nanometer.
Zacharias
Janssen
Untuk
melihat benda berukuran di bawah 200 nanometer, diperlukan mikroskop dengan
panjang gelombang pendek. Dari ide inilah, di tahun 1932 lahir mikroskop
elektron. Sebagaimana namanya, mikroskop elektron menggunakan sinar elektron
yang panjang gelombangnya lebih pendek dari cahaya. Karena itu, mikroskop
elektron mempunyai kemampuan pembesaran obyek (resolusi) yang lebih tinggi
dibanding mikroskop optik. Sebenarnya, dalam fungsi pembesaran obyek, mikroskop
elektron juga menggunakan lensa, namun bukan berasal dari jenis gelas
sebagaimana pada mikroskop optik, tetapi dari jenis magnet. Sifat medan magnet
ini bisa mengontrol dan mempengaruhi elektron yang melaluinya, sehingga bisa
berfungsi menggantikan sifat lensa pada mikroskop optik. Kekhususan lain dari
mikroskop elektron ini adalah pengamatan obyek dalam kondisi hampa udara
(vacuum). Hal ini dilakukan karena sinar elektron akan terhambat alirannya bila
menumbuk molekul-molekul yang ada di udara normal. Dengan membuat ruang
pengamatan obyek berkondisi vacuum, tumbukan elektron-molekul bisa
terhindarkan.
Ada 2 jenis
mikroskop elektron yang biasa digunakan, yaitu transmission electron microscopy
(TEM) dan scanning electron microscopy (SEM). TEM dikembangkan pertama kali
oleh Ernst Ruska dan Max Knoll, 2 peneliti dari Jerman pada tahun 1932. Saat
itu, Ernst Ruska masih sebagai seorang mahasiswa doktor dan Max Knoll adalah
dosen pembimbingnya. Karena hasil penemuan yang mengejutkan dunia tersebut,
Ernst Ruska mendapat penghargaan Nobel Fisika pada tahun 1986. Sebagaimana
namanya, TEM bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan tipis
sampel, yang selanjutnya informasi tentang komposisi struktur dalam sample
tersebut dapat terdeteksi dari analisis sifat tumbukan, pantulan maupun fase
sinar elektron yang menembus lapisan tipis tersebut. Dari sifat pantulan sinar
elektron tersebut juga bisa diketahui struktur kristal maupun arah dari
struktur kristal tersebut. Bahkan dari analisa lebih detail, bisa diketahui
deretan struktur atom dan ada tidaknya cacat (defect) pada struktur tersebut.
Hanya perlu diketahui, untuk observasi TEM ini, sample perlu ditipiskan sampai
ketebalan lebih tipis dari 100 nanometer. Dan ini bukanlah pekerjaan yang
mudah, perlu keahlian dan alat secara khusus. Obyek yang tidak bisa ditipiskan
sampai order tersebut sulit diproses oleh TEM ini. Dalam pembuatan divais
elektronika, TEM sering digunakan untuk mengamati penampang/irisan divais,
berikut sifat kristal yang ada pada divais tersebut. Dalam kondisi lain, TEM
juga digunakan untuk mengamati irisan permukaan dari sebuah divais.
Tidak jauh
dari lahirnya TEM, SEM dikembangkan pertama kali tahun 1938 oleh Manfred von
Ardenne (ilmuwan Jerman). Konsep dasar dari SEM ini sebenarnya disampaikan oleh
Max Knoll (penemu TEM) pada tahun 1935. SEM bekerja berdasarkan prinsip scan
sinar elektron pada permukaan sampel, yang selanjutnya informasi yang
didapatkan diubah menjadi gambar. Imajinasi mudahnya gambar yang didapat mirip
sebagaimana gambar pada televisi.
Cara
terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop
optic dan TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru
(elektron sekunder) atau elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel
ketika permukaan sampel tersebut discan dengan sinar elektron. Elektron
sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya diperkuat sinyalnya,
kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada layar
monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang
sudah diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan
sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut
pandang 3 dimensi.
Demikian,
SEM mempunyai resolusi tinggi dan familiar untuk mengamati obyek benda
berukuran nano meter. Meskipun demikian, resolusi tinggi tersebut didapatkan
untuk scan dalam arah horizontal, sedangkan scan secara vertikal (tinggi
rendahnya struktur) resolusinya rendah. Ini merupakan kelemahan SEM yang belum
diketahui pemecahannya. Namun demikian, sejak sekitar tahun 1970-an, telah
dikembangkan mikroskop baru yang mempunyai resolusi tinggi baik secara
horizontal maupun secara vertikal, yang dikenal dengan "scanning probe
microscopy (SPM)". SPM mempunyai prinsip kerja yang berbeda dari SEM
maupun TEM dan merupakan generasi baru dari tipe mikroskop scan. Mikroskop yang
sekarang dikenal mempunyai tipe ini adalah scanning tunneling microscope (STM),
atomic force microscope (AFM) dan scanning near-field optical microscope
(SNOM). Mikroskop tipe ini banyak digunakan dalam riset teknologi nano "
sumber : http://sejarahparapenemu.blogspot.com/2012/02/penemu-mikroskop.html
0 komentar:
Posting Komentar